Senin, 02 April 2012

Peristiwa G 30 S/PKI 1965


Menjelang akhir masa demokrasi Terpimpin, PKI memperoleh kedudukan strategis dalam percaturan politik di Indonesia. Kondisi ini diperoleh berkat kepiawaian Dipa Nusantara Aidit dan tokoh-tokoh PKI lainnya untuk mendekati dan mempengaruhi Presiden Soekamo. Melalui cara ini, PKI berhasil melumpuhkan lawan-lawan politiknya sehingga suatu saat PKI akan dengan mudah dapat melaksanakan cita-cita menjadikan negara Indonesia yang berlandaskan atas paham komunis.

Kendati demikian, PKI belum berhasil melumpuhkan Angkatan Darat yang pimpinannya tetap dipegang para perwira Pancasilais. Bahkan pertentangan antara PKI dan Angkatan Darat semakin meningkat memasuki tahun 1965. PKI melempar desas-desus tentang adanya Dewan jenderal di tubuh AD berdasarkan dokumen Gilchrist. Tuduhan itu dibantah AD dan sebaliknya, AD menuduh PKI akan melakukan perebutan kekuasaan.
PKI menganggap TNI terutama Angkatan Darat merupakan penghalang utama untuk menjadikan Indonesia negara komunis. Oleh karena itu, PKI segera merencanakan tindakan menghabisi para perwira TNI AD yang menghalangi cita-citanya. Setelah segala persiapan dianggap selesai, pada tanggal 30 September 1965 PKI mulai melancarkan gerakan perebutan kekuasaan. Aksi ini dinamai Gerakan 30 September atau G 30 S/PKI. Gerakan ini dipimpin Letkol Untung Sutopo, selaku Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa.
Pada 1 Oktober 1965 dinihari pasukan pemberontak menyebar ke segenap penjuru Jakarta. Mereka berhasil membunuh dan menculik enam perwira tinggi Angkatan Darat. Enam perwira Angkatan Darat korban keganasan PKI tersebut ialah
1. Letnan Jenderal Ahmad Yani,
2. Mayor Jenderal R. Suprapto,
3. Mayor Jenderal S. Parman,
4. Mayor Jenderal M.T. Haryono,
5. Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan, dan
6. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo.
Jenderal Abdul Haris Nasution (Menteri Kompartemen/Kepala Staf Angkatan Bersenjata) yang menjadi sasaran utama berhasil meloloskan diri dari upaya penculikan. Akan tetapi, puterinya, Ade Irma Suryani meninggal setelah peluru penculikmenembus tubuhnya. Dalam peristiwa itu tewas pula Lettu Pierre Andreas Tendean, ajudan A.H. Nasution yang dibunuh karena melakukan perlawanan terhadap PKI. Demikian pula Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun yang tewas ketika mengawal rumah Wakil Perdana Menteri(Waperdam) II Dr. J. Leimena, yang rumahnya berdampingan dengan Jenderal A.H. Nasution.
Di perkampungan Lubang Buaya para pemberontak PKI beramai-ramai menyiksa dan membunuh para perwira TNI AD. Mayat-mayat mereka dimasukkan ke dalam sumur kering dengan kedalaman 12 meter. Para pemberontak kemudian menyumbat lubang tersebut dengan sampah dan daun-daun kering.
Bagaimanakah sesungguhnya kejadian saat itu ?
Simaklah penuturan saksi mata peristiwa G 30 S/PKI, Letkol (Purn) Pol. Sukitman yang lolos dari upaya pembunuhan!
Pada 30 September malam dan menjelang dinihari 1 Oktober 1965, saya dengan mengendarai sepeda tengah patroli di Jalan Iskandarsyah, Kebayoran Baru. Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Ketika saya cek, saya dihadang pasukan Cakrabirawa. Saya kemudian diseret dan dimasukkan di kabin sebuah bus di samping sopir. Dengan todongan senjata, kedua tangan saya diikat ke belakang, dan kedua mata saya ditutup kain. Saya baru tahu beberapa hari kemudian tembakan itu berasal dari rumah Jenderal D.I. Panjaitan.

Dari bus, saya kemudian diturunkan di sebuah tempat. Dan ketika tutupan mata saya dibuka, masih dalam suasana remang-remang saya melihat di sekitarnya telah penuh dengan pasukan sukarelawan (sukwan) dan sukarelawati (sukwati) Pemuda Rakyat dan Gerwani. Saya kemudian dibawa ke dalam tenda. Di sini saya mendengar kata-kata. Yani wis dipateni (Yani telah dibunuh). Saya juga melihat ada orang yang telentang berlumuran darah, dan ada yang duduk sambil diikat tangan dan ditutup matanya. Kemudian saya ditawan di sebuah rumah, bentuknya seperti sekolah emperan, karena ada bangku-bangku dan papan tulis. Di tempat ini, menjelang matahari terbit, saya menyaksikan satu persatu tawanan itu diseret dan kemudian diceburkan ke sumur, mereka kemudian ditembaki. Tembakan diarahkan dari kepala hingga kaki. Sementara para sukwan dan sukwati dengan bersorak-sorak meneriakkan yel-yel Ganyang Kapbir (kapitalis birokrat) dan Ganyang nekolim.

Saat penyiksaan, saya benar-benar ngeri dan takut. Saya hanya pasrah kepada Tuhan. Saya sendiri tidak tahu, kalau yang disiksa itu para pahlawan revolusi. Waktu itu saya menyangka mereka para kapbir seperti yang disebutkan oleh PKI. Saya juga tidak tahu kalau tempat yang banyak pohon karetnya itu Lubang Buaya.
Di sini, saya juga melihat seorang berbadan pendek dan gemuk terikat tengah diseret-seret dengan todongan senjata. Matanya ditutup. Kemudian orang itu, didudukkan di kursi dan dipaksa untuk menandatangani sesuatu. Tapi ketika orang itu menolak, ia diikat kembali. Kemudian diseret dan diceburkan ke sumur, untuk kemudian ditembaki seperti yang dialami rekan-rekannya. Saya baru tahu kemudian, orang itu adalah Jenderal S. Parman. Setelah semua korban dimasukkan ke sumur, kira-kira pukul 08.00 pagi, para sukwan dan Sukwati beramai-ramai menutupi sumur dengan sampah dan daun pohon yang telah kering. Saya kemudian dipanggil Lettu Dul Arif dan Letnan Siman, keduanya dari Cakrabirawa yang menjadi komandan penculikan para jenderal. Lettu Dul Arif mengembalikan senjata saya, carabine jungle yang sudah patah kayunya.
Pada sore hari, saya dibawa Lettu Dul Arif ke sebuah lapangan di Halim Perdanakusuma, dekat Penas. Kemudian saya bersama Iskak, sopir Lettu Dul Arif mengambil nasi ke suatu tempat dekat markas provost AURI. Kemudian kembali iagi ke daerah Halim untuk membagi-bagikan nasi. Di sini saya tertidur sampai pagi.

Pada 2 Oktober 1965, saya melihat satuan-satuan Cakrabirawa telah berganti pakaiannya. Bila sebelumnya mereka memakai jaket dan seragam coklat, kini loreng-loreng. Pada sore hari, saya berada sendirian, karena lelah saya berteduh di bawah kolong bus dan kemudian tertidur. Dalam keadaan sadar tidak sadar, kemudian saya mendengar suara-suara tembakan. Mendengar tembakan, pasukan yang dipimpin oleh Dul Arif lari kocar-kacir menggunakan truk-truk dan saya ditinggalkan sendirian. Saya menganggap kejadian ini sebagai mukjizat dari Allah swt. Bagaimana jadinya kalau saya tidak tidur, dan ikut bersama dengan pasukan pemberontak. Atau mereka menembak mati saya terlebih dahulu.

Setelah berhasil membunuh beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sorehari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar